Melahirkan Dengan Gaya Bebas
Sambut Rasa Sakit dengan ilmu
Rasa sakit menuju proses persalinan
adalah sebuah alarm bahwa tubuh dan bayi tengah melakukan tugasnya untuk
memberi tanda pada ibu agar segera bersiap menyambut buah hatinya. Saya adalah
tipikal orang yang ekspresif, cukup mudah panik bila tidak siap, dan sering
mengikuti naluri tubuh. Ketika proses persalinan saya kemarin, saya memang agak
terlalu pede menghadapinya, karena mungkin terlalu sering membaca proses
kelahiran ibu ibu yang sepertinya mudah, rasa sakitnya bisa ditahan dan tidak
seberapa, dan dari beberapa video yang saya lihat, mereka bisa melahirkan
dengan tenang. Tenang yang berarti hanya tarik nafas, buang nafas, tersenyum,
tanpa berteriak dan mencakar suaminya. Ya ya ya, sepertinya itu gaya melahirkan
yang didambakan tiap orang. Tapi tidak dengan saya, saya melahirkan dengan gaya
saya sendiri. Saya sudah mempersiapkan untuk melakukan proses persalinan di
rumah sejak usia kehamilan memasuki trimester 2. Pada awal trimester pertama, saya
masih sama sekali buta soal kehamilan dan persalinan, sebaiknya bila anda
berencana untuk memiliki momongan, ada baiknya menyiapkan fisik, mental dan
ilmu sejak dini. Lebih awal anda mengetahui stepnya, lebih banyak persiapan
yang bisa anda lakukan.
Rencanakan Kehamilan
Saya dan suami sudah menikah
sekitar 1 tahun 4 bulan, karena beberapa
hal (yang pernah saya tulis di postingan lain) saya belum juga hamil. Kami
tidak melakukan treatment apapun dari dokter, sehingga ketika pada akhirnya
saya hamil, itu bukanlah kehamilan yang direncanakan, namun memang kehamilan
yang sudah ditunggu. Sebelum saya tau bahwa saya sedang hamil, saya sedang
melakukan travelling bersama suami.
Kami banyak berjalan kaki, melakukan banyak aktivitas, dan berlelah lelah,
Alhamdulillah janin yang sedang saya kandung tetap kuat. Sepulang dari travelling itu, saya baru merasakan
kelelahan, mual, dan muntah. Ketika cek ke dokter, dokter mengatakan seharusnya
usia kandungan sudah 8 minggu, namun kantong janin terlihat baru 6 minggu.Hal
hal seperti ini bisa membuat calon ibu baru merasa was was. Apalagi bila
redaksi dari si dokter membikin pesimis, seperti “ini kok janinnya baru x
minggu ya, kita tunggu ya bulan depan cek lagi janinnya berkembang atau
tidak..” sebaiknya calon ibu tetap tenang dan positif, karena ketenangan
tersebut juga berdampak besar bagi si janin. Tapi ada juga hal yang saya
percayai, yakni ketika sperma mampu membuahi sel telur, maka janin tersebut
akan bisa berkembang sempurna. Karena 0-2tahun pertama adalah masa keemasan,
dimana perkembangan seluruh syaraf dan organ berlangsung sangat optimal, maka
kita harus mempersiapkan dengan maksimal untuk menghasilkan generasi generasi
emas untuk masa depan.
Awal puasa lalu, saya dan suami
menyempatkan diri untuk pulang kampung, karena di kota tempat kami tinggal saat
itu tidak ada toko buku yang besar, dan lengkap, kami menyempatkan untuk
mencari buku bagus soal kehamilan. Awalnya saya membaca buku “Happy little soul” karya ibu Retno Hening,
sebenarnya ini buku tentang parenting,
namun di awal bukunya yang menceritakan soal kehamilannya, ia sempat
menceritakan soal persiapan kehamilannya dengan membaca buku hypnobirthing.
Dari situ saya penasaran soal hypnobirthing pada persalinan. Mencari bukunya
ternyata juga tidak terlalu mudah, namun sahabat saya berhasil menemukan buku
hypnobirthing karya ibu Lanny Kuswandi yang memang founder hypnobirthing Indonesia. Dari buku tersebut, saya mengenal
soal gentle birth. Gentle birth
merupakan sebuah filosofi persalinan untuk mendapatkan proses persalinan yang
minim trauma agar bayi yang dilahirkan sehat secara fisik, mental dan
spiritual, dan ibu bisa melahirkan dengan nyaman, dan tenang. Tentu dengan
sebuah proses dan usaha untuk memberdayakan diri mempersiapkan kehamilan dan
persalinan.
Lalu saya mencari di instagram soal
hypnobirthing, dan browsing soal gentle birth. Saya lalu menemukan web
bidankita.com , di situ tersedia informasi yang cukup lengkap tentang persiapan
kehamilan, persalinan, hingga perawatan setelah kelahiran sang buah hati. Background saya yang bukan berasal dari
tenaga kesehatan membuat saya merasa benar benar tidak tahu soal
kehamilan. Apa itu APGAR score, senam kegel, resusitasi, preeclampsia, posterior,
ketuban pecah dini (KPD) dll. Sangat banyak istilah istilah medis, dan proses
proses tubuh yang berubah dan beradaptasi saat hamil, yang mau tidak mau harus
dipelajari. Kalau saya tidak belajar, hampir bisa dipastikan ketika hari H saya
pasti panik.
Percayai Tubuh
![]() |
https://wellroundedmama.blogspot.co.id/2015/03/historical-and-traditional-birthing.html |
Proses kehamilan dan persalinan
ibarat sebuah lari marathon kata guru saya. Kita memiliki 40 minggu, waktu yang
cukup panjang untuk mempersiapkan fisik, mental, dan spiritual untuk melahirkan
seseorang ke dunia dan mengalami proses kelahiran kembali bagi diri. Melahirkan
bukan hanya sekadar proses fisik, kita memerlukan sebuah kepasrahan, sebuah
kepercayaan pada tubuh, kepercayaan pada orang orang yang mendampingi kita,
agar mencapai proses kelahiran yang sejati. Saya memiliki riwayat kadar haemoglobin (HB) di bawah rata rata. Hb
saya biasanya berada di kisaran 10.5 dari kadar normalnya 12. Untuk ibu hamil trimester
3 Hb setidak tidaknya harus di atas 8. Ketika Trimester 2, Hb saya 10.5,
setelah itu saya tidak cek darah lagi karena saya merasa tidak ada keluhan yang
berarti dari tubuh saya. Namun melihat teman teman lain yang di TM 3, Hbnya
bisa anjlok dari 13 menjadi 8,5 saya menjadi ikut was was. Dan benarlah, walau
sudah mengatur makanan sedemikian rupa HB saya bertengger di angka 6.5 pada
usia 36w. Sebuah PR berat bagi saya, ketika cek ke dokter, dokter merasa
kebingungan, “Loh,ibu kok masih bisa jalan ya dengan Hb segini.” Saya memang
tidak merasakan pusing pusing, saya masih bisa yoga dengan nafas biasa dan
tidak terengah engah. Makanya saya juga heran, saya merasa sehat sehat saja,
namun untuk bisa melahirkan dengan normal, saya perlu menggenjot lagi asupan
zat besi untuk tubuh saya. Satu minggu pertama saya selalu memiliki porsi 3-4
butir telur ayam kampung, 2 butir kapsul spirulina saat bangun tidur, hati ayam
ketika makan siang, 1 tablet penambah darah selepas makan siang, 1 buah bit
dibikin jus tiap harinya, dan makanan utama terdiri dari sayuran hijau, sayuran
berwarna, dan buah berwarna warni selalu tidak lupa saya makan. Hari H makin
dekat, dan saya selalu memberikan sugesti positif bahwa tubuh saya mampu untuk
melalui proses persalinan dengan baik. Pada hari Kamis tanggal 11 Januari pagi,
saya mulai merasakan kontraksi yang agak rapat (tapi rasanya tidak sakit sama
sekali, hanya perut terasa kencang mulai dari jam 5 pagi sampai jam 9 pagi),
setelah itu keluar flek yang sangat sedikit, kemudian saya makan nanas dengan
girang karena perasaan berbunga bunga akan segera bertemu dengan anak yang
telah dikandung 9 bulan lamanya. Pagi itu, suami sudah menghubungi bidan kami
untuk bersiap, dan suami berpesan pada adek bayi supaya lahir di hari Jumat
saja. Malamnya sekitar pukul 22.00 mulai datang lagi kontraksi yang rasanya
sangat tidak sama dengan kontraksi yang terjadi di pagi hari. Saya masih
berusaha untuk berjalan mondar mandir, namun hal tersebut hanya berlangsung
sebentar saja, setelah itu saya sudah tidak kuat untuk jalan mondar mandir. Setelah
kontraksi tersebut, rasanya sangat rapat, sepertinya sudah mulai 511, per
5menit kontraksi berlangsung selama 1 menit, dalam waktu 1 jam. Saya meminta
suami untuk meminta bidan kami datang. Yang saya sungguh ingat bahwa saya harus
terus bergerak secara aktif, untuk membantu membuka jalan lahir, dan memudahkan
janin turun. Suami saya terus mendampingi, dan mengingatkan untuk mengatur
nafas. Saya berlutut dengan gymball, berdiri, jongkok, sujud, cat cow pose, segala gaya saya lakukan.
Ketika merasa cukup lelah, baru saya berbaring sambil memegang suami. Saya
tidak bisa membayangkan apabila harus kontraksi dengan posisi berbaring atau
tiduran saja, hampir bisa dipastikan kemungkinan pembukaan jalan lahir akan
sulit bertambah. Apalagi sekitar pukul 00.30 ketuban sudah pecah, yang dalam
prosedur tenaga kesehatan, ibu hanya boleh berbaring miring ke kiri. Ketika
itu, saya membebaskan diri untuk berekspresi apa saja, terkadang saya
berteriak,terkadang saya merintih, terkadang saya mencengkeram sambil memeluk
suami saya. Bagi ibu ibu lain, kondisi yang tenang mungkin adalah kondisi
ternyaman, namun bagi saya waktu itu, bebas berekspresi adalah kondisi
ternyaman bagi saya dan nrimo terhadap
kontraksi tersebut . Seperti rencana awal, saya memilih untuk melahirkan di
rumah. Sepertinya pain tolerance saya
memang rendah, sehingga saya tidak bisa membayangkan bagaimana bila dalam
kondisi tersebut saya harus berjalan,bergerak ke rumah sakit, dengan kondisi
jalanan banyak yang tidak rata, memilih homebirth
serasa pilihan yang benar benar tepat bagi kondisi saya. Salam.
https://wellroundedmama.blogspot.co.id/2015/03/historical-and-traditional-birthing.html |
Komentar
Posting Komentar