Sebuah Perjalanan Mencari Hu
Judul Buku :
Bilangan Fu
Pengarang :
Ayu Utami
Penerbit :
Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Tahun terbit :
2008 (cetakan pertama)/2018 (cetakan kedua)
Jumlah Halaman : 537 hlm
Bilangan Fu dibuka dengan menggelitik mengenai tata cara
penyimpanan. Mendudah pemahaman rasional soal menyimpan benda benda keramat,
yang tak melulu berharga mahal seperti pualam, berlian, lukisan dan sejenisnya.
Pembukaan disajikan secara apik tentang
segala kengerian, ketidakbiasaan yang menggugah akal pikir dan rasa.
Parangjati dan Yuda, dua pemuda dengan pola pikir bertolak
belakang, bertemu dalam sebuah kecintaan yang sama. Batu batu gunung. Bermula
dari aktivitas rock climbing, mereka
berjumpa hingga menjalin persahabatan
mendalam. Yuda serupa anak kota dengan “emang gue pikirin” nya bertemu dengan
Parangjati yang “segala sesuatu yang berdekatan dengan saya, juga menjadi tanggungjawab saya.” Dan Marja dengan segala kekanakan dan ketulusannya mengimbangi batas di antara mereka.
Watugunung dengan segala kekayaannya, menjadi daya tarik perusahaan
penambangan untuk mengeruk semua yang dimilikinya. Bukan tanpa alasan
Parangjati ingin melawan. Segala yang baik untuk penduduk desa, tentu akan ia
perjuangkan. Dalam perjalanannya, tergambar lika liku kehidupan Parangjati
sejak lahir hingga membentuk dirinya yang sekarang. Mengulik soal Bilangan Fu, membutuhkan
kefokusan ekstra untuk memahami pergulatan pikiran Sandi Yuda, Parangjati
hingga penjelasan dari Suhu Budi.
Kita terus diajak untuk membayangkan kokohnya pegunungan
karst, dan deburan ombak laut selatan, sambil menimang nimang pemahaman yang
sesungguhnya sudah menjadi kepercayaan masyarakat secara turun temurun, namun
ingin sekuat kuatnya disangkal oleh akal sehat. Dengan rendah hati Parangjati
menjelaskan, “Misteri adalah rahasia,
yang jawabnya selalu tertunda...” (hlm 453) hingga ia menawarkan sebuah
konsep baru “Kebenaran biarlah berada di
langit. Kelak kita akan mengetahuinya misteri itu, ketika waktu kita telah
tiba. Tapi hari ini bumi membutuhkan kebaikan kita. Maka marilah kita berbuat
baik kepada bumi.....” (hlm 454)
Dari klan Saduki, ikan pelus, Mbok Manyar, hingga militerisme
akan menyegarkan rasa haus pengetahuan kita untuk hal hal ganjil, dan
kekuasaan. Rasa ingin tahu, dan perdebatan perdebatan pikir, sangat menggugah
hati nurani untuk kembali mempertanyakan ragam eksistensi artifisial seperti
televisi dan berbagai nilai kebermanfaatan bagi kehidupan nyata.
Ayu Utami adalah seorang penulis yang idealis, ia menulis
apa yang ingin ia tulis, ia melakukan riset terperinci terhadap berbagai hal
yang menarik hatinya. Bilangan Fu membutuhkan proses bertahun-tahun untuk
dirangkum dan dituliskan. Hampir keseluruhan dari novelnya merinci satu per
satu kejadian, dengan alur cerita yang logis dan menawan. Sehingga tidak heran
kita harus terus terjaga untuk bisa membacanya sampai habis. Di sisa energi
untuk membaca, saya sarankan untuk mawas diri, karena bisa bisa tidak sanggup
untuk mengkhatamkan bagian demi bagian, yang seolah dalam cerita, terdapat inti
cerita tersendiri. Namun pilihan kata, dan gaya bahasa Ayu Utami selalu membikin
penasaran, dan menghadirkan energi lagi untuk terus membuka halamannya. Tidak
pernah lebih terkagum akan kekayaan ragam bahasa yang selalu tepat sasaran, dan
sangat otentik.
Kesungguhan Ayu Utami menelisik soal spiritualisme kritis
memang patut untuk diacungi jempol. Ia memahami berbagai pergulatan spiritual di
masyarakat, entah agama agama, aliran kepercayaan, tradisi, dan lain
sebagainya, dan berusaha menyajikannya dengan lembut tanpa perlu menyinggung
pihak manapun. Tapi bersiaplah untuk bersedih, karena cerita ini tidak selalu
manis adanya.
Komentar
Posting Komentar